Laman

Kamis, 29 November 2012

Penggalan hasil penelitian…………….lihat al-Maidah:5, bahas lebih lanjut.....jarang keluar/blm jadi dasar


1.3. Beberapa Penekanan dan Analisis Tentang Tradisi “Ikhtilaf” dan Budaya Damai Sejarah telah memberi penjelasan bahwa pada masa Nabi SAW dan masa-masa sesudahnya ikhtilaf telah terjadi, dan terjadinya ikhtilaf tersebut ada yang dibenarkan dan ada pula yang tidak dibenarkan. Jika masih sama-sama dalam keimanan dan keislaman maka siapapun yang berbeda dan apapun perbedaannya dapat diselesaikan jika dikembalikan kepada aturan agama Islam yaitu al-Qur’an dan Hadis. Termasuk dalam konteks ini adalah ikhtilaf atau perbedaan yang terjadi di kalangan Fuqaha’ atau Mujtahid dan ahli hukum Islam, yang perbedaannnya dapat dibenarkan selama masing-masing mazhab tersebut kembali kepada al-Qur’an dan Hadis dan persyaratan lain yang kembali kepada al-Qur’an dan al-hadis. Prilaku luhur yang berupa ishlah ini dapat ditelusuri sumbernya dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari: 2693 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ العَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الأُوَيْسِيُّ، وَإِسْحَاقُ بْنُ مُحَمَّدٍ الفَرْوِيُّ، قَالاَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ أَهْلَ قُبَاءٍ اقْتَتَلُوا حَتَّى تَرَامَوْا بِالحِجَارَةِ، فَأُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ، فَقَالَ: «اذْهَبُوا بِنَا نُصْلِحُ بَيْنَهُمْ» (Al-Bukhari: Muhammad ibnu ‘Abdillah telah meriwayatkan kepada kami, ‘Abdul ‘Aziz ibn ‘Abdillah al-Ausy dan Ishaq ibn Muhammad al-Fazuri telah meriwayatkan kepada kami (yaitu kepada, Muhammad ibn ‘Abdillah al-Ausy), keduanya berkata: Muhammad ibn Ja’far telah meriwayatkan kepada kami dari Abi Hazim, dari Sahl ibn Sa’d r.a.: Bahwasannya penduduk Quba’ bertikai hingga saling melempar batu, kemudian Rasulullah SAW menyampaikan hal tersebut dan bersabda (kepada para sahabat): “mari pergi bersamaku, kita damaikan mereka) ( al-Bukhary, 1422 H, 183) Dengan demikian, “tawuran” atau pertikaian antar kelompok dalam masyarakat pun sebenarnya telah terjadi pada masa Nabi SAW. Namun demikian, perlu diketahui bagaimana jika pertikaian tersebut sulit sekali untuk didamaikan, bahkan sudah ditumpangi dengan informasi yang menyesatkan atau terjadi kesalahpahaman yang sangat serius. Padahal, kedua pihak yang bertikai sama-sama memiliki kesadaran tentang perdamaian, tetapi karena adanya provokasi atau adu domba, menjadi berselisih. Secara teori, penjelasan tentang solusi atas hal ini dapat dilihat dalam hadis berikut: 2692 - حَدَّثَنَا عَبْدُ العَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ صَالِحٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ حُمَيْدَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَخْبَرَهُ أَنَّ أُمَّهُ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عُقْبَةَ، أَخْبَرَتْهُ: أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لَيْسَ الكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ، فَيَنْمِي خَيْرًا، أَوْ يَقُولُ خَيْرًا» (al-Bukhari: Abdul ‘Aziz ibn ‘Abdillah telah meriwayatkan kepada kami, Ibrahim ibn Sa’d meriwayatkan kepada kami (kepada Abdul ‘Aziz ibn ‘Abdillah), (diriwayatkan) dari Shalih, dari Ibnu Syihab bahwasannya Humaid ibn ‘Abdirrahman meriwayatkan kepada Ibn Syihab bahwasannya ibunya (ibunya Humaid) yaitu Umm Kultsum putrinya ‘Uqbah, telah meriwayatkan kepadanya (Humaid) bahwasannya ia (Umm Kultsum) mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Bukanlah disebut pembohong, orang yang mendamaikan antara manusia, sehingga menyebarkan/menggunjingkan kebaikan (orang yang berselisih) atau mengatakan kebaikan (orang yang berselisih). ( al-Bukhary 1422 H, 183) Dalam hadis di atas terkandung pula tentang cara merespon ikhtilaf jika kondisinya menghendaki adanya perbuatan yang pada kondisi normalnya justru dilarang. Perbuatan berbohong ini tentu belum tentu dapat efektif jika orang yang berniat mendamaikan tidak memahami konteksnya. Artinya, jika yang bersengketa salah satunya ada yang melanggar ketentuan hukum, yaitu hanya mengikuti keinginan nafsunya dengan cara yang melewati batas, maka ada pemerincian tersendiri, dan tidak dapat dilaksanakan, karena ada yang keadaannya jauh dari moralitas dan agama, umpamanya. (Q.S. al-Hujurat:9, dan Q.S. al-Kahf: 28). Sementara itu, dalam ikhtilaf antar pemeluk agama, Islam mengajarkan bahwa ia merupakan agama tengah (ummatan wasathan). Konsep tengah ini kemudian dijelaskan sebagai tidak bersifat ekstrim, baik ekstrim kanan (ifrath) maupun ekstrim kiri (tafrith) yang dimisalkan dengan neraca timbangan yang tidak berat sebelah: adil, seimbang dan di tengah (Asy-Sya’rawi 1997, 7505) seperti yang disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah:143 dan dikaitkan dengan Q.S. al-Maidah:8:   •     ••      143. Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “ umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (Depag RI 2002, 23)           •            •         1. Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Mahateliti dengan apa yang kamu kerjakan. (Depag RI 2002, 109) Dengan demikian. hubungan damai dalam konteks wasathiyah harus tetap didasarkan pada prinsip keadilan sebagaimana disebutkan pada ayat yang kedua di atas. Selain itu dapat ditegaskan bahwa sikap moderat (wasathiyah) atau tidak ekstrim ini dapat menjadi kata kunci dalam kaitannya dengan hubungan damai antar manusia. Lalu bagaimana bentuk hubungan antara pemeluk agama yang tidak satu agama. Gambaran tentang ini dapat dilihat antara lain dalam Q.S. al-Maidah: 82-85. Selain ayat tersebut Q.S. al-Baqarah: 62, Q.S. al-Maidah: 69, 82-85, dan beberapa ayat lain yang juga menggambarkan adanya kedamaian atau tidak adanya rasa takut dan khawatir karena keimanan.Untuk lebih memperjelas, berikut disampaikan ayat-ayat di atas dan terjemahannya: •     •                    Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.(Departemen Agama RI 2002, 11) •      •               Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, barangsiapa beriman kepada Allah, kepada hari kemudian dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati (Depag RI 2002, 120)  •  ••          ••         •        82. Pasti akan kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman, ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan pasti akan kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata, "Sesungguhnya kami adalah orang Nasrani". Yang demikian itu karena di antara mereka terdapat para pendeta dan para rahib, (juga) karena mereka tidak menymbongkan diri. (Depag RI 2002, 122)                   •     83. Dan apabila mereka mendengarkan apa (al-Qur’an) yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui (dari kitab-Kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad). (Depag RI 2002, 123)                  84. Dan mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh ?". (Depag RI 2002, 123)     •            85. Maka Allah memberi mereka pahala kepada mereka atas perkataan yang telah mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan Itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan. (Depag RI 2002, 123) Dalam ayat-ayat tersebut dan dengan memperhatikan penjelasan sebelumnya, terlihat bahwa perbedaan agama adalah hal yang tidak dapat dihindarkan dan bahwa pemeluk agama dapat saja berbuat ekstrim dalam mensikapi perbedaan. Artinya, pernyataan lahiriyah saja, bukanlah yang dimaksudkan dalam pernyataan keimanan. Diperlukan kesadaran atau penerimaan terhadap nilai-nilai kerukunan dan perdamaian yang menjadi salah satu karakter, tradisi dan budaya orang- orang yang beriman. Dalam penerimaan terhadap nilai-nilai kerukunan, seperti penerimaan konsep moderat, damai dapat terjadi pada ikhtilaf selama ikhtilaf tersebut dalam konteks wasathiyah atau tidak ekstrem sebagaimana telah disebutkan. Dalam konteks ini hubungan antar sesama pemeluk agama Islam atau sesama orang beriman dibangun berdasarkan kedekatan ruhani/hati. Hal ini dapat dilihat pada ayat:                            •      Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti keinginannya dan adalah keadaannyasudah melewati batas (Q.S. al-Kahf:28) (Depag RI 2002, 298) Jadi, menegaskan penjelasan sebelumnya bahwa dalam merespon ikhtilaf yang menuntut perdamaian atau tetap dalam konteks damai, al-Qur’an menegaskan keharusan adanya keterikatan persaudaraan karena keimanan secara psikologis. Artinya, orang-orang yang selalu mengingat Allah dapat dipermudah hatinya untuk tidak mengikuti orang-orang yang dilalaikan hatinya dari mengingati Allah dan menuruti hawa nafsunya dengan prilaku atau keadaan yang melewati batas. Dalam sejarahnya, konflik terkadang bahkan melibatkan orang-orang yang secara kapasitas keilmuannya dalam bidang agama dianggap mumpuni dan bahkan merupakan pemimpin yang dihormati dari masa ke masa hingga saat ini. Akan tetapi, seperti sejarah fitnatul Kubra yang telah terjadi, atau khilafah sesudahnya, pelajaran tentang konflik dan bagaimana mengatasinya memang bukan perkara mudah: ada banyak hal di samping politik yang dapat berperan terhadap terjadinya konflik, apalagi jika sudah menyangkut prinsip yang berbeda meskipun dengan dasar yang sama, yaitu al-Qur’an dan Hadis.(Taha Husain, 1985: 321-673) Paling tidak jika muncul pertanyaan dari yang berpandangan berbeda menyangkut pendekatan agama atau keyakinan karena fakta sejarah tentang konflik yang telah disebutkan di atas: mengapa dalam sejarahnya perbedaan yang berujung konflik berupa peperangan tidak mesti dapat diselesaikan dengan pendekatan agama, dan mengapa yang terlibat di dalamnya termasuk para ahli agama yang diikuti qoul atau fatwanya atau periwayatannya oleh umat Islam hingga saat ini? Jawabannya memang bisa beragam. Jika menggunakan pendekatan agama, umpamanya, itu merupakan ujian,karena semua mukmin mendapatkan ujian sesuai keimanannya, umpamanya, atau sesuatu yang tidak dapat dielakkan (sudah nasib) atau itu karena faktor politik dari luar yang merongrong kepemimpinan khalifah, Islam, atau lainnya. Artinya, ada dimensi keagamaan yang dapat dipahami bahwa ujian yang dipercayai sebagai tanda kasih sayang atau perhatian Tuhan (Q.S. al-Baqarah:155, Q.S. al-‘Ankabut: 2, dan lain-lain) dapat disalahpahami jika pendekatannya tidak dalam konteks Q.S. al-Anbiya’: 35, bahwasannya Tuhan akan menguji orang-orang yang beriman dengan keburukan dan kebaikan dan bahwasannya keburukan tersebut bukan menunjukkan dihinakannya yang diuji dan kebaikan tersebut bukan menunjukkan pemuliaan kepada yang diuji oleh Tuhan. (asy-Sya’rawi, 1997, 7446). Melihat poin di atas, dapat dinyatakan bahwa dalam melihat pendekatan agama yang digunakan pesantren dalam tradisi ikhtilaf dan budaya damainya, jika suatu ikhtilaf konteks pemahamannya adalah ujian, maka ujian apapun, termasuk ikhtilaf dalam bentuk konflik, cara melihatnya atau mendeskripsikannya adalah bagaimana keyakinan atau faham yang bersangkutan dari segi faham keagamaan atau keyakinannya: apakah seperti penafsiran di atas atau lainnya. Dengan kata lain, deskripsi faktanya tentu berkaitan atau dimulai dengan apa yang digagas atau digunakan sebagai dasar keyakinannya atau dasar berfikirnya. Jika pilihan pendekatan budaya pesantren yang seperti ini dipraktekkan, maka diperlukan kekayaan pengalaman dan rasionalitas untuk mengasah kepekaan sosial-budaya sehingga diperoleh interpretasi budaya yang tepat bagi suatu komunitas. Tentu saja bahwa interpretasi budaya ini menyangkut pula praksisnya, yaitu seperti bahwa jika suatu komunitas terjadi konflik ideology, umpamanya, praksisnya adalah langkah-langkah penyelesaian yang merupakan interpretasi budaya itu sendiri. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ada interpretasi budaya yang dapat diwujudkan dalam bentuk langkah-langkah praksis yang berasal dari pesantren dan dapat digunakan sebagai cara merespon perbedaan dan atau konflik yang ada di suatu komunitas dengan mensyaratkan adanya kepekaan sosial-budaya.

Daftar Blog Saya

Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Pengikut